Saturday, January 10, 2015

PRO-KONTRA ORIGIN




Pernyataan penjual atau pertanyaan konsumen tentang asal batuan sangat sering menjadi topik dalam transaksi jual-beli batu permata. Perdebatan mengenai penting atau tidaknya origin seolah tak pernah berujung. Masih sangat banyak konsumen yang sangat fanatik terhadap origin, dan seolah sudah terdoktrin bahwa batuan asal negara tersebut adalah yang terbaik. Pandangan seperti ini mutlak tidak bisa disalahkan dan patut dihargai. Namun dengan wawasan yang lebih luas tentang perkembangan penemuan tambang-tambang baru dan perkembangan bisnis batu mulia global, anggapan tersebut lambat-laun bisa dihilangkan.



Sejarah penentuan origin untuk batu mulia dimulai pada dekade 1940-1950. Sebelum itu,
penilaian lebih didasarkan atas kecenderungan warna dan tampilan saja, misalnya untuk Ruby dengan warna merah intens dikategorikan sebagai Burma-type atau Burma-like, Sapphire dengan warna biru intens dan silky appearance disebut sebagai Kashmir-type. Selama kurun dekade tersebut, Gemological Institute of America dan para ahli gemologi melakukan riset tentang kemungkinan penentuan origin batu mulia. Di waktu yang sama, pendiri Gemstone Research Swiss (GRS), Dr. Eduard J Gubelin juga mengadakan penelitian tentang perbedaan karakteristik batuan dari tambang-tambang yang berbeda.

Penentuan origin dimungkinkan dengan cara meneliti ribuan sampel batuan dari berbagai tambang, baik yang sudah tutup, masih berproduksi, maupun dari tambang yang baru ditemukan. Sampel-sampel tersebut kemudian didokumentasikan secara sistematik sebagai referensi laboratorium, dan diklasifikasikan menurut asal, sifat-sifat fisik dan optiknya, serta hasil analisisnya. Pemutakhiran sampel juga harus terus-menerus dilakukan karena penemuan baru, meskipun dari tambang yang sama, bisa jadi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hasil tambang tersebut beberapa tahun sebelumnya.

Dari tinjauan ilmiah gemologi, penentuan origin tidak hanya membutuhkan analisis visual yang kasat mata saja seperti kecenderungan warna, struktur pertumbuhan dan inklusi tipikal. Lebih jauh dari itu, aspek visual yang tidak kasat mata seperti komposisi kimia dan UV reaction juga ikut berperan. Meskipun hingga saat ini akurasi penentuan origin oleh laboratorium gemologi masih menjadi kontroversi bahkan di dunia internasional, namun besarnya tuntutan konsumen yang memerlukan pendapat gemologist membuat hampir seluruh laboratorium gemologi mengeluarkan laporan tentang origin ini, meskipun dengan standar pemeriksaan dan dukungan peralatan yang berbeda-beda. Sebagai gambaran, apabila lab di Indonesia melengkapi instrumen origin analysis seperti yang dimiliki oleh GRS Swiss, mulai dari Fourier Transform Infra-Red (FTIR) Spectroscopy, Raman Spectroscopy , Ultra Violet Visual Near Infra-Red (UV-VIS NIR) Spectroscopy, Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy, Laser-Induced Breakdown Spectrsocopy (LIBS) dan Laser Ablation-Induction Coupled Plasma Mass Spectroscopy (LA-ICP-MS), maka total investasi untuk peralatan tersebut dipastikan di atas Rp. 5 miliar. Sebenarnya, tanpa peralatan tersebut pun laboratorium dimungkinkan untuk mengeluarkan origin namun tentunya dengan analisis yang tidak mendalam sehingga di sisi lain harga jual jasa juga bisa ditekan.

Kondisi yang terjadi adalah secanggih apapun peralatan kalau tidak didukung dengan akurasi referensi spesimen yang lengkap dan kemampuan untuk menganalisa datanya maka investasi peralatan tersebut bisa jadi tidak berguna. Tetapi apabila analisis hanya berdasarkan data yang minim maka kemungkinan akurasinya juga akan semakin jauh. Bukan begitu?

Keyakinan terhadap origin terkadang sangat melekat di diri konsumen dengan dalih pengalamannya di bidang batu mulia. Semisal konsumen sangat yakin membeli safir Sri Lanka, kemudian di LAB X hasilnya adalah Tanzania. Karena tidak puas, maka dia membawanya ke LAB Y, dan hasilnya ternyata benar Sri Lanka. Maka konsumen tersebut akan menganggap LAB Y sebagai lab yang lebih benar dan lebih kompeten. Nah, sekarang apabila konsumen tersebut mempunyai safir dari Tanzania dan di LAB X hasilnya Sri Lanka, apakah dia masih akan mendapatkan kesimpulan dari LAB Y yang dianggapnya lebih benar? Jawabannya adalah tergantung dari orientasi, pemahaman dan referensi pemilik barang tersebut terhadap dunia batu mulia dan reputasi lab yang ada..
Kasus di atas sangat mungkin terjadi saat ini, di mana ‘negara asal batuan’ di benak masyarakat masih sangat kuat mempengaruhi bahkan identik dengan kualitas batu mulia dan otomatis nilainya juga akan berbeda dan bahkan overlap dari kondisi yang seharusnya. Safir Sri Lanka dan safir Tanzania dengan kualitas (color, clarity, cut dan carat) sangat mungkin lebih mahal yang Sri Lanka, meskiupun yang terjadi di pasar internasional adalah sebaliknya.

Perdebatan tentang keakuratan origin determination ini menurut saya tidak akan pernah berujung, karena di satu sisi masyarakat mempunyai keyakinan sendiri dan di sisi lain lab memosisikan diri sebagai ‘opinion source’ menurut metode dan kemampuannya dan tidak bisa digugat.

Dengan semua kondisi yang telah diuraikan di atas, Anda bebas memilih laboratorium yang paling sesuai dengan kualifikasi, anggaran dan tujuan Anda. Banyak orang yang tidak memilih laboratorium yang bertarif mahal bukan karena kekurangan dana, tapi karena lebih ‘percaya’ kepada lab lain yang tarifnya lebih murah. Tapi tidak sedikit pula orang yang hanya ‘percaya’ kepada lab yang mahal (meskipun dia harus menabung untuk itu) dan tidak menoleh sedikit pun ke lab yang bertarif murah. Terserah, toh masalah mahal dan murah adalah relatif.

Tulisan ini hanya merupakan pandangan saya untuk memotret kondisi pasar yang ada di Indonesia saat ini dan sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskreditkan satu pihak, seller atau buyer, atau laboratorium manapun. Kalau kebetulan Anda sebagai seller, maka sebenarnya Anda adalah buyer, karena Anda juga membeli dari seller (kecuali Anda memiliki tambang).



source : dirangkum dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment